Ruwatan, upacara pelepas malapetaka (kedua)

Majapahit 1478DUNIA BLOGGER. Artikel ini merupakan artikel lanjutan dari Ruwatan, upacara pelepas malapetaka (pertama).

Analisis dan Interprestasi
Salah satu bentuk upacara tradisi yang hingga sekarang masih ditaati, dipatuhi, diyakini dan dilaksanakan oleh masyarakat Jawa adalah upacara ruwatan. Ruwatan berasal dari kata "ruwat" dan mendapatkan sufik -an. Kata ruwat mengalami gejala bahasa metatesis dari kata "luwar" yang berarti terbebas atau terlepas. Maksud diselenggarakan upacara ruwatan ini adalah agar seseorang yang "diruwat" dapat terbebas atau terlepas dari ancaman mara bahaya (mala petaka) yang melingkupinya. Seseorang yang oleh karena sesuatu sebab ia dianggap terkena sukerta aib (klesa=Jawa Kuno), maka ia harus diruwat. Tradisi kepercayaan yang dimiliki masyarakat Jawa, bahwa seseorang yang oleh karena suatu peristiwa terkena sukerta, ia akan menjadi mangsa Bhatara Kala. Untuk dapat melepaskan/membebaskan seseorang dari ancaman Bhatara Kala, maka masyarakat Jawa yang meyakini menyelenggarakan upacara ruwatan yang telah tertata dan diatur secara tertib. Usaha yang dilaksanakan oleh masyarakat Jawa dengan mengadakan upacara ruwatan tersebut tak lain adalah untuk melindungi manusia dari segala ancaman bahaya. Koentjaraningrat memasukkan upacara ngruwat sebagai ilmu gaib protektif, yaitu upacara yang dilakukan dengan maksud untuk menghalau penyakit dan wabah, membasmi hama tanaman dan sebagainya, yang seringkali menggunakan mantra-mantra untuk menjauhkan penyakit dari bencana (Koentjaraningrat, 1984). Dengan demikian masyarakat yang melaksanakan upacara ruwatan percaya bahwa mereka akan terlindungi dari ancaman mara bahaya. Thomas Wijaya Bratawijaya pernah menyebutkan seseorang yang seharusnya diruwat, seperti : kendana-kendini, ontang-anting, julung wangi, julung pujud, margana, gondang kasih, dampit, unting-unting, lumunting, pendawa, pendawi, uger-uger lawang, kembang sepasang, orang yang menjatuhkan dandang, mematahkan batu gilasan, menaruh beras di dalam lesung, mempunyai kebiasaan membakar rambut dan tulang, dan membuat pagar sebelum rumahnya jadi (Bratawijaya 1988).

Dalam upacara ruwatan sering dipergelarkan pertunjukan wayang. Wayang ialah bentuk pertunjukan tradisional yang disajikan oleh seorang dalang dengan menggunakan boneka atau sejenisnya sebagai alat pertunjukan (Wibisono 1983). Dalam pertunjukan wayang ini disajikan lakon wayang secara khusus. Lakon wayang yang disajikan sebagai sarana upacara ruwatan ini biasanya Murwakala atau Sudamala. Baik lakon Murwakala atau Sudamala keduanya termasuk wayang pada jaman purwa. Wayang jaman purwa terbagi atas 4 bagian, yaitu : mitos-mitos permulaan kosmos mengenai dewa, raksasa dan manusia; Arjunasasrabahu yang memuat pendahuluan epos Ramayana ; Ramayana dan Mahabarata (Suseno 1985). Di dalam wayang dikandung hakekat kehidupan yang sangat mendasar. Aspek penting dalam kaitannya dengan hakekat wayang ialah masyarakat Jawa sering mengaitkan dengan peristiwa yang terjadi di dalam dunia wayang dengan dunia nyata. Hakekat wayang adalah bayangan dunia nyata yang di dalamnya terdapat makhluk ciptaan Ilahi, seperti : manusia, tumbuh-tumbuhan, hewan, dan bahkan dunia seisinya. Pembayangan itu berisi tentang gambaran kehidupan manusia, terutama mengenai sifat keutamaan/kemuliaan dan keangkaraan/kejahatan. Peristiwa yang terjadi dalam dunia nyata, yang disebabkan oleh sesuatu hal sehingga seseorang terkena sukerta, akan menjadi mangsa Bhatara Kala.

Dalam wayang, visualisasi Bhatara Kala adalah dewa berwajah raksasa yang tinggi, besar, menyeramkan dan menakutkan. Kala berarti waktu, ini mengisyaratkan kepada seseorang, apabila ia tidak memanfaatkan waktu sebaik-baiknya akan menjadi orang bodoh, karena tergilas oleh waktu yang dikuasai oleh Bhatara Kala, sebagai Dewa Waktu (Bratawijaya 1968). Anggapan-anggapan ini lama-kelamaan menjadi kenyakinan yang kokoh di dalam hati sanubari masyarakat Jawa. Agar terhindar dari ancaman Bhatara Kala, mereka mengadakan upacara ruwatan dengan sarana pertunjukan wayang dengan lakon khusus, yaitu Murwakala atau Sudamala.


(Bersambung ke ......... bagian ketiga)

Related Posts:

Get free daily email updates!

Follow us!

0 Response to "Ruwatan, upacara pelepas malapetaka (kedua)"

Post a Comment

Komentar yang anda tinggalkan mencerminkan pribadi anda sendiri, oleh karenanya hindari spam, pornografi, SARA, promosi produk, Anonimous dan jangan OOT.
Komentar yang sesuai pasti akan aku terbitkan dan anda akan mendapatkan backlink.
Mohon maaf bilamana terjadi keterlambatan balasan komentar.